DUDONAN ACARA
PITRA YAJNA
Pengabenan
I.
MRETEKA SAWA
Melelet munggah tumpang salu.
a.
Piranti sarana :
Pepaga, canggah puak dipasangi tatindih kasa putih maka
leluhur nyiramang layon. Tikeh lante, kasa pangulung anut lanang istri.
Sisig, ambuh, lemurud putih kuning, sabun, suri petat,
ampok-ampok, angkeb rai, belahan botol pangerik naka, benang tukelan, taluh
ayam matah, benang tali etik-etik, toya kumkuman, toya anyar sategepan gayung.
Tirta-tirta pabersihan, tirta pemanahan, eteh-eteh pemanahan
yang terdiri dari :
Daun intaran apasang
Belahan meke apasang
Pusuh bunga menuh apasang
Pusuh bunga meduri apasang
Waja besi pat tebih
Anget-anget sesembaran
Minyak bali
Malem, gadung sikapa
Sekar sinom dan kewangen
b.
MESIRAM
1.
Tanginin dumun antuk kekidungan utawi sehe rawos biasa,
pabuate jaga mesiram.
2.
Gotong sawane medal, bakte ring pepagane.
3.
Rurub wastra sawane luwarang, raris pasang angkep rai,
ampok-ampok panekep pasta baga prana.
4.
Makerik naka tangan miwah suku, raris toya asriokan.
5.
Sisig, ambuh, malemurud mapun putih ring hulu, kuning
sebates nabhi pungsed ngatebenang.
6.
Sriokin toya, mesabunan mesiram jantos bersih angga
sawane, metoya kumkuman.
7.
Tultulin antuk benang bali utawi handuk alit, raris
gelilikin taluh saking hulu ngatebenang.
8.
Gentosin tikeh pasiramanne, raris rangsukang tikeh
lante pangulungan sani kecawisang.
9.
Wastrain miwah papekek kampuh anuting sawa lanang
istri.
10. Mesuri,
mapusung rambut.
11. Maitik-itik,
tegul empuning jari tangan kadi mamusti, suku mangeka pada.
12. Tiwakin
tirta pabersihan, pabeakalan, raris tirta pemanahan.
PANGREKAAN PEMANAHAN :
Minyak olesang sabilang pasendian, gadung sikapa kosotang ring kulit, anget-anget sasembaran ring hulu hati. Daun intaran ring alis kiwa tengen, pusuh menuh pinaka caling kiwa tengen, pusuh meduri ring luang irung kalih, malem ring karma kiwa tengen, belahan meke ring soca kalih, waja pat ring untu, monmon ring lambe.
PANGULUNG :
Margiang
kadi kramaning mewastra anut lanang istri, raris maprucut metali benang hulu
teben.
Tikeh
lante, upih tampak dara ring hulu, madya, teben, metali kendit uat penyalin
jantos tekek.
Pasangin
rurub, raris munggah ke salu panda.
Masang
pelengkungan, kaput antuk tikeh halus majerumat, wangun kadi maikut sesapi
mabungkus wastra putih.
Masang
kereb sari, aled kajang, kajang, ukur, sekar sinom, kwangen, miwah angenan,
rantasan.
Gegutuk,
peneteh, penaring, bunteh, tulup, ganjaran, tatukon, pisang jati, pengawak
adegan, peti pesimpenan bekel, tah belakas penasdas, cegceg makesami ring
sanding utawi teben layon.
Ring
ulon adegang sanggar PRAJAPATI lan sanggar SURYA.
II.
NARPANA
Dalam rangka narpana atau pemberian suguhan kepada
pitra, lewat puja Utpti mayat dihidupkan, dalam arti hidup bukan bisa berlari.
Roh atau atma pada stula sariranya, sebelum diayabin suguhan tarpana terlebih
dahulu secara simbolis diberikan penyucian dengan sarana yang biasanya disebut
eteh-eteh pangresikan, toya padyusan, berikut tirtha pebersihan pelukatan atau
setingkat pedudusan.
Selain pemberian suguhan berupa tarpana, juga pada
acara ini dilaksanakan penghormatan lewat sembah bakti Prati Sentana, sanak
keluarga sesembahannya, yang kesemuanya dipandu mengikuti tahapan puja Ida Sang
Sulinggih.
Sampai acara tarpana ini selesai, dapat menggambarkan
bahwa proses Utpti dan Stiti telah berlangsung. Sedangkan proses Prelina belum
tampak, mengingat belum ada suatu perubahan atau peleburan terhadap sawa atau
layon.
III. PENANGIAN
ATAU PENUNDUNAN
Berkaitan
dengan susunan acara pada pengabenan APRATIWA, yang mana kegiatan hari pertama
disebut penundunan, maka kiranya tidak perlu dijelaskan secara mendetail,
mengingat proses kegiatan maupun sarana banten juga makna isi puja mantra Ida
Sang Sulinggihnya masih berkisar pada Utpti dan Stiti.
Disamping
penyuguhan sesaji tarpana dan doa-doa puja mantra yang mengarahkan agar
terbangunnya kesadaran, atau jagranya sang pitra untuk diupacarakan atau
diaben. Dengan demikian maka pada hari esoknya disebut BENGANG atau masa hari
tenang, introspeksi diri lebih-lebih bagi sang yajamana, yaitu prati sentana
yang melaksanakan pengabenan betul-betul siap mental dalam menghadapi kesibukan
berikutnya.
IV. PEBAKTIAN
Khusus pada acara
pebaktian, yang bertujuan memberikan penghormatan kepada sang pitra, sebagai
wujud bakti sentana mapunya. Disamping memberikan suguhan tarpana demi
tercapainya rasa kepuasan yang mungkin semasih hidupnya belum terpenuhi, hal
ini akan menjadi endapan angan-angan yang disebut badan rasa atau DEWI MAYASIH.
Endapan
angan-anagan atau badan rasa dapat menyebabkan roh atau pitra tersendat-sendat
perjalanannya kembali ke asalnya. Oleh karenanya pada hari pebaktian diadakan
PEDEENGAN atau eedan acara pemuas, berupa penyuguhan banten yang tampak besar
dan beberapa jenis bali/wali sebagai wewalen.
Disamping
banten yang ditujukan kepada Dewa Surya, Prajapati dan Dewi Durgha sebagai dewa
penguasa kematian, juga banten yang berfungsi sebagai pengruwatan dan
panebasan. Pada kesempatan ini pula diadakan PESALIN (penggantian) beberapa
sarana seperti : Ukur mas, Gegutuk
yang disulam benang mas, Angenan yang dihias dengan mas yang mana pada saat
mreteka sawa atau ngeringkes dibuatkan yang sederhana.
Selanjutnya
acara pebaktian juga merupakan moment untuk menampakkan hubungan ikatan
keluarga dalam satu kelompok sasembahan. Suatu tradisi acara pebaktian
senantiasa diakhiri dengan acara makan dengan istilah MEMARID bagi yang tergabung dalam ikatan saling sembah. Sedangkan
bagi tamu-tamu secara umum, disediakan hidangan khusus dengan bermacam-macam
jenis sate lauk-pauk, lawar komoh, pindangan yang penataannya juga khusus
disebut magibung karena magi buung.
Juga ada suguhan kepada Sang Jayamana berupa rayunan sebagai wujud RSI BOJANA.
Masih
berkaitan dengan rangkaian hari pebaktian, acara dilanjutkan pada malam itu
sekitar jam 24, setelah puja hatatangi pada pitra acara HALEBU RAWU, yaitu
kegiatan membakar sarana berupa padi, ketan, injin masing-masing satu cekel dan
kacang-kacangan perlambang hasil bumi dan kepala kerbau. Terlebih dahulu
sarana-sarana tersebut disucikan dengan pangresikan dan dimohonkan kepada Dewa
Brahma sebagai penguasa api dengan saktinya Kala Agni Rudra, agar melebur
sarana tersebut menjadi abu.
Bantennya :
¨
Pejatian, peras, canang daksina
¨
Semayut candragni yang isinya : tumpeng memuncuk
suar kulit taluh siap, maulan ati, rerasmen, kwangen 3 metali benang tridatu,
canang sekar bang, genep raka wohwohan, toya agelas.
Menjelang akhir pembakaran, maka bara abu tersebut
diperciki air amerta yang ada pada banten tersebut. Setelah panasnya hilang
maka abu dipunggut ditempatkan pada sebuah tamas busung atau tamas ental. Abu
tersebut akan menjadi dasar/penyerta pada penganyutan abu orang yang diaben.
V.
MAGESENG
Sebelum layon
atau sawa diusung ke TUNON atau ke setra tempat pembakaran, terelebih dahulu
dilakasanakan puja tarpana Mapegat. Dalam acara ini, selain penyuguhan tarpana
sebagai Stiti juga disertai dengan sungkeman bakti sentana yang bersangkutan
sebagai bentuk pelepasan, dalam awal proses peleburan Stula Sarire menjadi abu
lewat pembakaran.
Setelah Ida
Sang Sulinggih mengadakan rangkaian Ksipta Puja dari Ngutpti, Nyetiti dan
Mrelina untuk proses peleburan wujud, maka acara mapegat oleh sanak keluarga
prati sentananya dilakukan secara bergiliran.
Sarananya
:
¨
Satu tangakai cabang kayu dapdap atau kayu sakti
digantungi sejumlah satuan uang bolong, masing-masing diikat dengan benang
tridatu.
¨
Sebuah lampu minyak kelapa atau damar coblong
¨
Banten peras pamegat
Acara ini dilakukan di depan bale sawa, dimana para prati
sentananya bergilir memutuskan tali uang bolong pada kayu sakti tersebut dengan
api nyala dammar coblong.
Selanjutnya
para wanita yang ada hubungan sembah, bersama keluarga Sang Yajamana
berkewajiban mengusung segala perlengkapan upacara termasuk banten dagan atau
banten teben dibawa ke tunon. Demikian pula kaum pria keluarga banjar yang ada
ikatan sidhikara saling tegen, secara reflek bergegas menurunkan sawa dari bale
tumpang salu, untuk dinaikkan ke Bade wadah melewati kreteg yang juga disebut
titi gangsa.
Suasana mulai
tampak berubah, dimana suara surak yang berbaur dengan suara tabuh gong
gegilakan seolah-olah membangkitkan energi kaum pria yang mengusung sawa atau
layon. Sebaliknya suara tetabuhan angklung yang terdengar sayu mengharukan
tidak lepas memberikan inspirasi pada perasaan, akan dua hal yang berbeda yaitu
antara sedih dan gembira sebagai perlambang rua bineda. Masing-masing hanyut
dalam perasaan namun menjadi satu pada tujuan ngaben.
Perjalanan
menuju tunon nampak berurutan, yang diawali terdepan orang yang membawa tah
cegceg dipasang di pinggir jalan menuju setra. Kemudian angklung, disusul oleh
para wanita penjunjung sarana-sarana upakara sebagaimana disebutkan di atas.
Seorang penabur sekerura beserta salah seorang cucu buyut almarhum menjunjung
bunteh dan membawa tulup penuntun, juga para keluarga yang memanjang. Dengan
demikian tampak wadah dan bade tersambung dengan kain putih pemanjang dan
benang tridatu yang berkaitan dengan bunteh. Di atas disamping sawa, nampak
salah satu anak almarhum membawa iber-iber sebagai manuk dewata dan pecut
pengubes.
Gegilakan gong
di belakang bade yang diikuti derap langkah para tamu yang tak terhitung
jumlahnya, hanya bisa menemani sampai di ujung pembakaran. Sepanjang perjalanan
ke tunon, apabila menjumpai perapatan, wadah atau bade diputar ke kiri tiga
kali atau disebut PRESAWIA, sebagai bentuk arah layon mencari Linggih Panca
Maha Butha.
Demikian pula
bila sudah sampai di lokasi pamuhunan, wadah beserta sarana-sarana upakara
kembali berputar tiga kali ke kiri sebagai tanda perjalanan sampai pada Linggih
Sang Hyang Bairawi. Layon kembali diturunkan melalui kreteg dibawa ke
patulangan dimana semua tali-tali peleletannya didasdas dengan tah.
Sesuai
petunjuk bunyi sastra KALIMAHOSADA, setelah layon diturunkan maka satu soroh
banten suci, satu buah caratan berisi air dan dupa dinaikkan pada bade sebagi
suguhan kepada Sang Anggapati, Mrajepati, Banaspati, Banaspati Raja selaku
catur sanak yang akan menyertai dalam perjalanan ke asalnya.
Setelah
pengulung layon dibuka lalu ditiwakin toya tirta penembak, dilanjutkan dengan
pemasangan penanring dan dipegangi anak cucu, kemudian Ida Sang Sulinggih
niwakan tirtha pebersihan, pangentas pamuput juga tirtha-tirtha restu dari KEMULAN,
PAIBON, PRAJAPATI PURA DALEM. Khusus pengabenan di Pulau Lombok,
ada juga mohon pakardi BATHARA SAKTI WAHU RAUH yang ada di PURA SURANADI, yaitu
Pebersihan, Toya Tabah dan Pangentas.
Proses
niwakang tirtha diakhiri dengan prelina sawa dan bade, selanjutnya dibakar
dengan Agnikalarudra dari Sang Sulinggih. Setelah segala sarana upakara kembali
dipasang/ditempatkan pada layon sebagaimana waktu masih di tumpang salu, maka
api CITAAGNI disulutkan.
Demikian juga
para keluarga kadang sembah rojong yang memakai ikat kepala sesentak kain
putih, hendaknya segera dilepas dan dibakar sebagai pengganti rambut ikut
mesatya yang mana pada zaman dahulu orang-orang yang mesatya dengan cara
mekuris megundul. Jilatan kobaran api yang nampak seolah-olah menyangga stula
sarira orang yang diaben, akan mengingatkan kita kepada Layon RSI BHISMA yang
dialasi SARATALPA atau ujung-ujung senjata dalam perang Bharata Yuda, oleh
Arjuna di saat-saat Rsi Bhisma awak prenawa atau melebur diri.
Selama
berlangsung pembakaran hendaknya diikuti tembang kekidungan, sampai pada saat
memunggut galih abu yang disebut dengan istilah panyupitan. Adakalanya acara
panyupitan ini dilaksanakan sekitar jam 24, setelah menghaturkan saji geblagan
dan sarana penyeheb. Setelah abu galih dipunggut lanjut disirami air kumkuman
dan langsung direka dengan kwangen pangrekaan di bale salunglung, yang berada
di lokasi acara tarpana pakiriman.
VI. NGASTI
Tepat hari
kelima dalam urutan pengabenan APRATIWA, dimana banten-banten telah siap
terpajang sebagaimana mestinya juga kehadiran para tamu disambut sesuai aturan
atiti karma, maka acara ngasti dimulai.
Kepulan asap
dupa harum yang menyertai deringan suara bajra gentha Ida Sang Sulinggih dalam
pemujaan, memberikan aroma tersendiri dimana detik-detik perpisahan semakin
dirasakan. Meriahnya suasana yang ditunjang dengan penyuguhan tari-tarian
wewalen, seperti wayang, topeng siddha karya walaupun dengan biaya yang tidak
sdikit kesemuanya itu berfungsi sebagai dekorasi pemuas dalam katagori
Asritinonton.
Lantunan
mantra-mantra Surya Stawa, Brahma Stawa dan Prajapati Stawa, dalam makna
kebesaran hakekat Tuhan atau Widhi yang
mana dalam kontek Pitra Yajna BELIAU disebut SURYA BRAHMA PRAJAPATI. Disamping
mantra-mantra yang berkaitan dengan banten, sarana prosesi penyucian dengan
arah pujaan kepada WISNU dan GANA, kesemuanya bersumber pada CATUR WEDA SIRAH
yang menjadi acuan ksipta puja Sang Sulinggih.
Proses
ngasti/tarpana pakiriman tidak jauh berbeda dengan acara-acara sebelumnya,
meliputi Utpti – Stiti pemanggilan roh untuk menduduki wujud sariranya yang
telah berupa abu. Dari perubahan stula sarira menjadi abu lewat pembakaran, ini
berarti telah terjadi suatu proses pengembalian penyedotan, penggabungan unsur-unsur
Panca Maha Butha dalam sekup besar yaitu alam, terhadap unsur-unsur panca Maha
Butha sekup kecil, yaitu bagian dari tubuh manusia. Proses penggabungan ini
tidak berbeda dengan metoda teori Kohesi-Adhesi dalam ilmu alam.
Dalam
pelaksanaan ngasti yang tidak kurang memakan waktu dua jam, meliputi pemberian
luapan rasa cinta kasih, penyuguhan tarpana dan penghormatan bhakti sentana
kadang sembah, kesemuanya mengikuti tahap-tahapan puja Sang Jayamana.
Sebagaimana
ksipa puja Ida Sang Sulinggih dalam puncak acara ngasti, yang berakhir dengan
pemrelina mituduhang, maka roh atau pitra dipisahkan dari abu untuk
dikembalikan ke paramaatma lewat puja mantra Swargantu, Moksantu dan sunyantu
dengan penuh harapan agar sang pitra mencapai kamoksan.
Selanjutnya abu
dijadikan satu atau dicakup, dibungkus kain putih, dibentuk puspadhi dipasangi
kwangen, kemudian diusung atau dinaikkan ke pengiriman. Perjalanan buang abu ke
segara/laut atas sisa bagian dari stula sarira yang dikembalikan ke sumbernya
dilebar di laut.
Demikian acara
ngasti sebagai klimak finaltinya upacara ngaben.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar