TATANAN
PELAKSANAAN
PENGABENAN
Secara
global tatanan pelaksanaan Atiwa Tiwa atau cara pengabenan disebutkan sebagai
berikut :
1.
APRATIWA (WAHYA NGESENG BYANTARA NGIRIM)
Maksudnya : pembakaran dilakukan sesuai dewasa harinya
nuju Beteng, ngirim buang abu dilaksanakan hari esoknya disebut kajeng atau
byantara.
2.
TANDANG MANTRI (BYANTARA NGESENG BYANTARA NGIRIM)
Maksudnya : pelaksanaan pembakaran dan buang abu dalam
satu hari.
3.
TUMANDANG MANTRI (BYANTARA NGESENG BYANTARA NGIRIM
LANJUT NYEKEH NGERORAS)
Maksudnya : pembakaran dan buang abu dilaksanakan dalam satu hari, dilanjutkan upacara nyekeh
pada hari itu juga, puput sadina disebut ngelanus.
Dari ketiga cara
pengabenan tersebut, dalam kaitannya atas mayat yang akan diaben, senantiasa
diawali dengan prosesi MRETEKA SAWA.
Kegiatan itu meliputi : memandikan, menyucikan
sawa ditiwakin tirtha pebersihan, pemanahan dan sarana lainnya, sampai sawa
dibungkus digulung dengan pengulung yang disediakan. Setelah mayat terbungkus
atau dilelet sebagaimana mestinya, lalu dinaikkan ke atas bale-bale yang
terbuat dari bambu kuning dan diletakkan pada sebuah bangunan BALE GDE atau
SAKANEM, dapat pula pada BALE TIANG SANGA yang khusus dibangun untuk kegiatan
upacara agama. Setelah sawa diletakkan pada bale Tumpang Salu kemudian
dipasangi kerangka kurungan dari bambu yang disebut pelengkungan, dibungkus
dengan tikar halus majerumat, seolah-olah membentuk sebuah kuburan. Dipasangi
kain rurub, kajang, ukur, sekar sinom dan kwangen. Di atasnya diletakkan
angenan, rantasan dan beberapa sarana lainnya seperti : gegutuk, peneteh,
penaring, adegan, tatukon, pisang jati, bunteh, tulup, ganjaran, cegceg, tah
yang diletakkan di sekitar letak sawa. Tidak luput sebuah dammar kurung
dipancang di depan samping pintu pekarangan rumah, dinyalakan apabila diadakan
upacara tarpana (pemberian suguhan pada Pitra yang dipandu oleh sulinggih).
Kegiatan mreteka sawa dimaksud,
kadangkala dilaksanakan jauh sebelum hari dewasa pengabenan, mengingat prosesi
ngaben yang diinginkan agar tampak megah meriah, dengan segala fasilitas sarana
lainnya seperti : wadah/bade, bale salunglung, kreteg, patulangan persiapannya
memerlukan banyak waktu. Dengan demikian sering tampak di suatu lingkungan
pemukiman Hindu, peleletan nyekeh sawa atau ngeringkes sampai berbulan-bulan
bahkan ada tahunan.
Setelah dewasa atau hari yang
dipilih untuk pelaksanaan ngaben dipastikan atau disebut NEGEM DEWASA, dan
segala sarana yang diperlukan sudah siap, maka rangkaian karya diawali MIN LIMA
HARI BUANG ABU, dengan susunan acara sebagai berikut :
HARI PERTAMA : disebut penangian atau penundunan dengan
kegiatan pitra puja tarpana.
HARI KEDUA : disebut
bengang atau masa hari tenang untuk introspeksi.
HARI KETIGA : disebut pebaktian dengan kegiatan pitra
puja tarpana bakti sentana.
HARI KEEMPAT : disebut mageseng dengan kegiatan pitra puja
tarpana mapepegat.
HARI KELIMA : disebut Ngasti dengan kegiatan pitra
puja tarpana pakiriman.
Susunan karya
pengabenan seperti tersebut dinamakan APRATIWA.
Selanjutnya
TANDANG MANTRI dan TUMANDANG MANTRI, kiranya akan dapat terpikirkan sebagaimana
perbedaan-perbedaannya yang telah disebutkan di depan.
Disamping
perbedaan tersebut, dan mengingat upacaranya diselesaikan dalam satu hari, maka
prosesi mreteka sawa atau ngeringkesnya dapat disederhanakan yaitu ngeringkes
di PATULANGAN juga tidak membutuhkan : angenan, ukur, tatukon, pisang jati,
pengawak, dammar kurung, pelengkungan, wadah dan balai buncal. Peleletan
dilaksanakan MIN SATU HARI PENGABENAN. Adanya penyederhanaan tersebut akan
merupakan jawaban awal bagi yang kurang beruntung dan tidak perlu berkecil
hati. Dalam BHAGAWADGITA disebutkan :
TAD
AHAM BHAKTYOPAHRTAM, ASNAMI PRAYATATMANAH. (BG IX.26)
Yang maksudnya : bukan tingkatan
besar-kecilnya persembahan menjadi ukuran, melainkan kesungguhan keikhlasan dan
kesucian hati.
Selain tatanan Pitra Yajna ngaben
yang disebutkan di atas, masih ada cara atau indik ngaben yang mengacu pada
lontar PURWA YAMA TATTWA.
ITI SASTRA PURWA YAMA TATTWA :
Sedeng Bhatari Durgha hanaring
gaganantara, tumon hatma sasaring kawahgnisara, wastu ksana hapalih warna
bhatari harupa Sang Hyang Yamadipati, sira hang gamel hala hayuning hatma.
Waneh pwa sira halungguh ring
Yamaniloka, tumedun maring Wantipura nitibhumi, dadya ta somya nira hawarna
Bhatari Huma, sira Hyangning Kahyangan Dalem huluning setra.
Kunang kalanira ring madhyaning setra
agung rumaga sira Bhatari Durgha Dewi, hnengakna.
Mangke wasitaakna PANDYA SANG
HATAPA HENDER, jumujuging palinggihira bhatari sedheng awarna Durgha Dewi,
dadya kagiat bhatari, mangrak mangrik aptya manadaha sang pandya.
Saksana dateng Bhatara Brahma
sumurup suksmeng brahmaangga sang pandya, apan sang Brahmana hinangken putra de
Bhatara Brahma, hirika linesu gelengire Bhatari, ksana Sang Hatapa Hender
haminta nugraha Bhatari, bwat kasidyaning adnyana kreta siksa, humilangakna
letuh hatmaning wang mati, siddha mulihing swarga bhawana.
Mangkana bhatari hapalih warna
harupa SANGHYANG YAMADIPATI, maha krura rupa Rudra Murti tulya, tandwa hasung
warah-warah ring Sang Pandya sapari kramaning pangaci sawaning wang mati, hala
ayu, ikang yogya lawan tan yogya.
Yata nimitaning hana SASTRA PURWA
YAMA TATTWA, kabyakta de sang Sadaka ri kuna-kuna ring bhumi Pasuruan
Blambangan Jawadwipa katekeng BALI RAJYA.
NIHAN PAWARAH SANGHYANG YAMA :
Maka siddhaning tingkah
angupakara sawaning wang mati, hagung-halit/nistha madyotama maka pamatuting
ulah, kewala mati bener, haja pinendem, gesenge juga presiddha mulih maring
Bhatara Brahma, apituwi TAN PABEYA swastaakna ring Sanghyang Agni putusa dening
tirtha pangentas, dulurana daksina sanunggal, canang pitung tanding kunang
beras catur warna macemper.
Riwus geseng bhasmi sawa ika,
reka harengnya laju Sang pandya pamutus karya hanggelar sakramaning puja tarpana
pakiriman, praline mituduhang nuli hanyut mareng we pangrarungan.
Wekasan sekama-kama wenang
ngeroras nyekeh, sidha pada hanemu hayu, bhatara sama sukha mahiyang ring
sapanagara Sri haji.
Dari pawarah tersebut di atas,
khusus dalam pengabenan TAN PABEYA, tampak memang sangat sederhana
pelaksanaannya. Pada hari dewasa pengabenan sawa dimandikan dibersihkan dengan
sarana atau eteh-eteh pasiraman, metoya pebersihan wang mati, mapangulung tikeh
lante, rurub sekar sinom masih di pepaga ayabin punjung. Kemudian sawa dibawa
ke setra, di tempat pembakaran ditiwakin tirta pengentas, beserta sarana
daksina satu, canang tujuh tanding, beras catur warna sebagaimana disebutkan di
atas, lalu dibakar. Menjelang berakhir pembakaran haturi saji geblagan,
diterapkan sarana penyeheb berupa :
menyan astanggi, air kelapa gading, gadang, kelapa dhanta dan toya penyeheb.
Setelah abunya dipunggut, disirami air kumkuman lalu direka dengan kwangen
pangrekaan, lanjut Sang Sulinggih yang meminpin upacara menggelar puja tarpana pakiriman,
sebagaimana biasanya NGUTPTI, STITI, MRELINA mituduhang dan berakhir dengan
buang abu.
Untuk patokan dalam pengabenan TAN
PABEYA, penataan bantennya sebagai berikut :
- DI SANGGAR SURYA DAN PRAJAPATI, masing-masing suci satu soroh.
- DI SOR SURYA, gelar sanga dan segehan.
- DI SANDING PITRA, peras idehan, sodayan, katipat pesor, perangkatan, ajengan dahar sai, pendetan, bayuan dan blonyoh.
- BANTEN TEBEN, jangkep peras, angkeb, bubuh pirata, banten gowak, geledegan, panjang ilang matah-rateng, panjang penyenuk, peras cucu.
- PANGRESIKAN, kerik kuramas, lis, buhu, toya siram, tehenan, rantasan, palukatan, padudusan, sibuh pepek, sekarura.
- HAREPAN PAMUTUS KARYA, suci, daksina, canang, punya.
- PENGAYUT, banten pejatian.
Lain
halnya dengan pengabenan yang disebut
APRATIWA, dimana prosesinya berhari-hari meliputi utpti, stiti dan
prelina yang berulang kali, maka akan membutuhkan upakara banten berulang kali
juga.
Selanjutnya,
dalam menguraikan susunan jalannya upacara ngaben, akan banyak mempergunakan
kata-kata atau bahasa bali, disamping sebagai proses pembelajaran pengenalan
istilah-istilah dalam kegiatan Pitra Yajna, juga akan menambah gaung
kesakralan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar