Minggu, 22 Januari 2012

TUNTUNAN PITRA YAJNA ( NGABEN )

DUDONAN ACARA PITRA YAJNA
Pengabenan
  

I.       MRETEKA SAWA
      Melelet munggah tumpang salu.
a.       Piranti sarana :
Pepaga, canggah puak dipasangi tatindih kasa putih maka leluhur nyiramang layon. Tikeh lante, kasa pangulung anut lanang istri.
Sisig, ambuh, lemurud putih kuning, sabun, suri petat, ampok-ampok, angkeb rai, belahan botol pangerik naka, benang tukelan, taluh ayam matah, benang tali etik-etik, toya kumkuman, toya anyar sategepan gayung.
Tirta-tirta pabersihan, tirta pemanahan, eteh-eteh pemanahan yang terdiri dari :
      Daun intaran apasang
      Belahan meke apasang
      Pusuh bunga menuh apasang
      Pusuh bunga meduri apasang
      Waja besi pat tebih
      Anget-anget sesembaran
      Minyak bali
      Malem, gadung sikapa
      Sekar sinom dan kewangen
b.      MESIRAM
1.      Tanginin dumun antuk kekidungan utawi sehe rawos biasa, pabuate jaga mesiram.
2.      Gotong sawane medal, bakte ring pepagane.
3.      Rurub wastra sawane luwarang, raris pasang angkep rai, ampok-ampok panekep pasta baga prana.
4.      Makerik naka tangan miwah suku, raris toya asriokan.
5.      Sisig, ambuh, malemurud mapun putih ring hulu, kuning sebates nabhi pungsed ngatebenang.
6.      Sriokin toya, mesabunan mesiram jantos bersih angga sawane, metoya kumkuman.
7.      Tultulin antuk benang bali utawi handuk alit, raris gelilikin taluh saking hulu ngatebenang.
8.      Gentosin tikeh pasiramanne, raris rangsukang tikeh lante pangulungan sani kecawisang.
9.      Wastrain miwah papekek kampuh anuting sawa lanang istri.
10.  Mesuri, mapusung rambut.
11.  Maitik-itik, tegul empuning jari tangan kadi mamusti, suku mangeka pada.
12.  Tiwakin tirta pabersihan, pabeakalan, raris tirta pemanahan.
PANGREKAAN PEMANAHAN :
Minyak olesang sabilang pasendian, gadung sikapa kosotang ring kulit, anget-anget sasembaran ring hulu hati. Daun intaran ring alis kiwa tengen, pusuh menuh pinaka caling kiwa tengen, pusuh meduri ring luang irung kalih, malem ring karma kiwa tengen, belahan meke ring soca kalih, waja pat ring untu, monmon ring lambe.
PANGULUNG :
Margiang kadi kramaning mewastra anut lanang istri, raris maprucut metali benang hulu teben.
Tikeh lante, upih tampak dara ring hulu, madya, teben, metali kendit uat penyalin jantos tekek.
Pasangin rurub, raris munggah ke salu panda.
Masang pelengkungan, kaput antuk tikeh halus majerumat, wangun kadi maikut sesapi mabungkus wastra putih.
Masang kereb sari, aled kajang, kajang, ukur, sekar sinom, kwangen, miwah angenan, rantasan.
Gegutuk, peneteh, penaring, bunteh, tulup, ganjaran, tatukon, pisang jati, pengawak adegan, peti pesimpenan bekel, tah belakas penasdas, cegceg makesami ring sanding utawi teben layon.
Ring ulon adegang sanggar PRAJAPATI lan sanggar SURYA.

II.    NARPANA
Dalam rangka narpana atau pemberian suguhan kepada pitra, lewat puja Utpti mayat dihidupkan, dalam arti hidup bukan bisa berlari. Roh atau atma pada stula sariranya, sebelum diayabin suguhan tarpana terlebih dahulu secara simbolis diberikan penyucian dengan sarana yang biasanya disebut eteh-eteh pangresikan, toya padyusan, berikut tirtha pebersihan pelukatan atau setingkat pedudusan.
Selain pemberian suguhan berupa tarpana, juga pada acara ini dilaksanakan penghormatan lewat sembah bakti Prati Sentana, sanak keluarga sesembahannya, yang kesemuanya dipandu mengikuti tahapan puja Ida Sang Sulinggih.
Sampai acara tarpana ini selesai, dapat menggambarkan bahwa proses Utpti dan Stiti telah berlangsung. Sedangkan proses Prelina belum tampak, mengingat belum ada suatu perubahan atau peleburan terhadap sawa atau layon.

III. PENANGIAN ATAU PENUNDUNAN
      Berkaitan dengan susunan acara pada pengabenan APRATIWA, yang mana kegiatan hari pertama disebut penundunan, maka kiranya tidak perlu dijelaskan secara mendetail, mengingat proses kegiatan maupun sarana banten juga makna isi puja mantra Ida Sang Sulinggihnya masih berkisar pada Utpti dan Stiti.
      Disamping penyuguhan sesaji tarpana dan doa-doa puja mantra yang mengarahkan agar terbangunnya kesadaran, atau jagranya sang pitra untuk diupacarakan atau diaben. Dengan demikian maka pada hari esoknya disebut BENGANG atau masa hari tenang, introspeksi diri lebih-lebih bagi sang yajamana, yaitu prati sentana yang melaksanakan pengabenan betul-betul siap mental dalam menghadapi kesibukan berikutnya.

IV. PEBAKTIAN
      Khusus pada acara pebaktian, yang bertujuan memberikan penghormatan kepada sang pitra, sebagai wujud bakti sentana mapunya. Disamping memberikan suguhan tarpana demi tercapainya rasa kepuasan yang mungkin semasih hidupnya belum terpenuhi, hal ini akan menjadi endapan angan-angan yang disebut badan rasa atau DEWI MAYASIH.
      Endapan angan-anagan atau badan rasa dapat menyebabkan roh atau pitra tersendat-sendat perjalanannya kembali ke asalnya. Oleh karenanya pada hari pebaktian diadakan PEDEENGAN atau eedan acara pemuas, berupa penyuguhan banten yang tampak besar dan beberapa jenis bali/wali sebagai wewalen.
      Disamping banten yang ditujukan kepada Dewa Surya, Prajapati dan Dewi Durgha sebagai dewa penguasa kematian, juga banten yang berfungsi sebagai pengruwatan dan panebasan. Pada kesempatan ini pula diadakan PESALIN (penggantian) beberapa sarana seperti : Ukur mas, Gegutuk yang disulam benang mas, Angenan yang dihias dengan mas yang mana pada saat mreteka sawa atau ngeringkes dibuatkan yang sederhana.
      Selanjutnya acara pebaktian juga merupakan moment untuk menampakkan hubungan ikatan keluarga dalam satu kelompok sasembahan. Suatu tradisi acara pebaktian senantiasa diakhiri dengan acara makan dengan istilah MEMARID bagi yang tergabung dalam ikatan saling sembah. Sedangkan bagi tamu-tamu secara umum, disediakan hidangan khusus dengan bermacam-macam jenis sate lauk-pauk, lawar komoh, pindangan yang penataannya juga khusus disebut magibung karena magi buung. Juga ada suguhan kepada Sang Jayamana berupa rayunan sebagai wujud RSI BOJANA.
      Masih berkaitan dengan rangkaian hari pebaktian, acara dilanjutkan pada malam itu sekitar jam 24, setelah puja hatatangi pada pitra acara HALEBU RAWU, yaitu kegiatan membakar sarana berupa padi, ketan, injin masing-masing satu cekel dan kacang-kacangan perlambang hasil bumi dan kepala kerbau. Terlebih dahulu sarana-sarana tersebut disucikan dengan pangresikan dan dimohonkan kepada Dewa Brahma sebagai penguasa api dengan saktinya Kala Agni Rudra, agar melebur sarana tersebut menjadi abu.
 Bantennya :
¨      Pejatian, peras, canang daksina
¨      Semayut candragni yang isinya : tumpeng memuncuk suar kulit taluh siap, maulan ati, rerasmen, kwangen 3 metali benang tridatu, canang sekar bang, genep raka wohwohan, toya agelas.
Menjelang akhir pembakaran, maka bara abu tersebut diperciki air amerta yang ada pada banten tersebut. Setelah panasnya hilang maka abu dipunggut ditempatkan pada sebuah tamas busung atau tamas ental. Abu tersebut akan menjadi dasar/penyerta pada penganyutan abu orang yang diaben.



V.    MAGESENG
      Sebelum layon atau sawa diusung ke TUNON atau ke setra tempat pembakaran, terelebih dahulu dilakasanakan puja tarpana Mapegat. Dalam acara ini, selain penyuguhan tarpana sebagai Stiti juga disertai dengan sungkeman bakti sentana yang bersangkutan sebagai bentuk pelepasan, dalam awal proses peleburan Stula Sarire menjadi abu lewat pembakaran.
      Setelah Ida Sang Sulinggih mengadakan rangkaian Ksipta Puja dari Ngutpti, Nyetiti dan Mrelina untuk proses peleburan wujud, maka acara mapegat oleh sanak keluarga prati sentananya dilakukan secara bergiliran.
Sarananya
¨      Satu tangakai cabang kayu dapdap atau kayu sakti digantungi sejumlah satuan uang bolong, masing-masing diikat dengan benang tridatu.
¨      Sebuah lampu minyak kelapa atau damar coblong
¨      Banten peras pamegat
Acara ini dilakukan di depan bale sawa, dimana para prati sentananya bergilir memutuskan tali uang bolong pada kayu sakti tersebut dengan api nyala dammar coblong.
      Selanjutnya para wanita yang ada hubungan sembah, bersama keluarga Sang Yajamana berkewajiban mengusung segala perlengkapan upacara termasuk banten dagan atau banten teben dibawa ke tunon. Demikian pula kaum pria keluarga banjar yang ada ikatan sidhikara saling tegen, secara reflek bergegas menurunkan sawa dari bale tumpang salu, untuk dinaikkan ke Bade wadah melewati kreteg yang juga disebut titi gangsa.
      Suasana mulai tampak berubah, dimana suara surak yang berbaur dengan suara tabuh gong gegilakan seolah-olah membangkitkan energi kaum pria yang mengusung sawa atau layon. Sebaliknya suara tetabuhan angklung yang terdengar sayu mengharukan tidak lepas memberikan inspirasi pada perasaan, akan dua hal yang berbeda yaitu antara sedih dan gembira sebagai perlambang rua bineda. Masing-masing hanyut dalam perasaan namun menjadi satu pada tujuan ngaben.
      Perjalanan menuju tunon nampak berurutan, yang diawali terdepan orang yang membawa tah cegceg dipasang di pinggir jalan menuju setra. Kemudian angklung, disusul oleh para wanita penjunjung sarana-sarana upakara sebagaimana disebutkan di atas. Seorang penabur sekerura beserta salah seorang cucu buyut almarhum menjunjung bunteh dan membawa tulup penuntun, juga para keluarga yang memanjang. Dengan demikian tampak wadah dan bade tersambung dengan kain putih pemanjang dan benang tridatu yang berkaitan dengan bunteh. Di atas disamping sawa, nampak salah satu anak almarhum membawa iber-iber sebagai manuk dewata dan pecut pengubes.
      Gegilakan gong di belakang bade yang diikuti derap langkah para tamu yang tak terhitung jumlahnya, hanya bisa menemani sampai di ujung pembakaran. Sepanjang perjalanan ke tunon, apabila menjumpai perapatan, wadah atau bade diputar ke kiri tiga kali atau disebut PRESAWIA, sebagai bentuk arah layon mencari Linggih Panca Maha Butha.
      Demikian pula bila sudah sampai di lokasi pamuhunan, wadah beserta sarana-sarana upakara kembali berputar tiga kali ke kiri sebagai tanda perjalanan sampai pada Linggih Sang Hyang Bairawi. Layon kembali diturunkan melalui kreteg dibawa ke patulangan dimana semua tali-tali peleletannya didasdas dengan tah.
      Sesuai petunjuk bunyi sastra KALIMAHOSADA, setelah layon diturunkan maka satu soroh banten suci, satu buah caratan berisi air dan dupa dinaikkan pada bade sebagi suguhan kepada Sang Anggapati, Mrajepati, Banaspati, Banaspati Raja selaku catur sanak yang akan menyertai dalam perjalanan ke asalnya.
      Setelah pengulung layon dibuka lalu ditiwakin toya tirta penembak, dilanjutkan dengan pemasangan penanring dan dipegangi anak cucu, kemudian Ida Sang Sulinggih niwakan tirtha pebersihan, pangentas pamuput juga tirtha-tirtha restu dari KEMULAN, PAIBON, PRAJAPATI PURA DALEM. Khusus pengabenan di Pulau Lombok, ada juga mohon pakardi BATHARA SAKTI WAHU RAUH yang ada di PURA SURANADI, yaitu Pebersihan, Toya Tabah dan Pangentas. 
      Proses niwakang tirtha diakhiri dengan prelina sawa dan bade, selanjutnya dibakar dengan Agnikalarudra dari Sang Sulinggih. Setelah segala sarana upakara kembali dipasang/ditempatkan pada layon sebagaimana waktu masih di tumpang salu, maka api CITAAGNI disulutkan.
      Demikian juga para keluarga kadang sembah rojong yang memakai ikat kepala sesentak kain putih, hendaknya segera dilepas dan dibakar sebagai pengganti rambut ikut mesatya yang mana pada zaman dahulu orang-orang yang mesatya dengan cara mekuris megundul. Jilatan kobaran api yang nampak seolah-olah menyangga stula sarira orang yang diaben, akan mengingatkan kita kepada Layon RSI BHISMA yang dialasi SARATALPA atau ujung-ujung senjata dalam perang Bharata Yuda, oleh Arjuna di saat-saat Rsi Bhisma awak prenawa atau melebur diri.
      Selama berlangsung pembakaran hendaknya diikuti tembang kekidungan, sampai pada saat memunggut galih abu yang disebut dengan istilah panyupitan. Adakalanya acara panyupitan ini dilaksanakan sekitar jam 24, setelah menghaturkan saji geblagan dan sarana penyeheb. Setelah abu galih dipunggut lanjut disirami air kumkuman dan langsung direka dengan kwangen pangrekaan di bale salunglung, yang berada di lokasi acara tarpana pakiriman.

VI. NGASTI
      Tepat hari kelima dalam urutan pengabenan APRATIWA, dimana banten-banten telah siap terpajang sebagaimana mestinya juga kehadiran para tamu disambut sesuai aturan atiti karma, maka acara ngasti dimulai.
      Kepulan asap dupa harum yang menyertai deringan suara bajra gentha Ida Sang Sulinggih dalam pemujaan, memberikan aroma tersendiri dimana detik-detik perpisahan semakin dirasakan. Meriahnya suasana yang ditunjang dengan penyuguhan tari-tarian wewalen, seperti wayang, topeng siddha karya walaupun dengan biaya yang tidak sdikit kesemuanya itu berfungsi sebagai dekorasi pemuas dalam katagori Asritinonton.
      Lantunan mantra-mantra Surya Stawa, Brahma Stawa dan Prajapati Stawa, dalam makna kebesaran hakekat Tuhan atau Widhi  yang mana dalam kontek Pitra Yajna BELIAU disebut SURYA BRAHMA PRAJAPATI. Disamping mantra-mantra yang berkaitan dengan banten, sarana prosesi penyucian dengan arah pujaan kepada WISNU dan GANA, kesemuanya bersumber pada CATUR WEDA SIRAH yang menjadi acuan ksipta puja Sang Sulinggih.
      Proses ngasti/tarpana pakiriman tidak jauh berbeda dengan acara-acara sebelumnya, meliputi Utpti – Stiti pemanggilan roh untuk menduduki wujud sariranya yang telah berupa abu. Dari perubahan stula sarira menjadi abu lewat pembakaran, ini berarti telah terjadi suatu proses pengembalian penyedotan, penggabungan unsur-unsur Panca Maha Butha dalam sekup besar yaitu alam, terhadap unsur-unsur panca Maha Butha sekup kecil, yaitu bagian dari tubuh manusia. Proses penggabungan ini tidak berbeda dengan metoda teori Kohesi-Adhesi dalam ilmu alam.
      Dalam pelaksanaan ngasti yang tidak kurang memakan waktu dua jam, meliputi pemberian luapan rasa cinta kasih, penyuguhan tarpana dan penghormatan bhakti sentana kadang sembah, kesemuanya mengikuti tahap-tahapan puja Sang Jayamana.
      Sebagaimana ksipa puja Ida Sang Sulinggih dalam puncak acara ngasti, yang berakhir dengan pemrelina mituduhang, maka roh atau pitra dipisahkan dari abu untuk dikembalikan ke paramaatma lewat puja mantra Swargantu, Moksantu dan sunyantu dengan penuh harapan agar sang pitra mencapai kamoksan.
      Selanjutnya abu dijadikan satu atau dicakup, dibungkus kain putih, dibentuk puspadhi dipasangi kwangen, kemudian diusung atau dinaikkan ke pengiriman. Perjalanan buang abu ke segara/laut atas sisa bagian dari stula sarira yang dikembalikan ke sumbernya dilebar di laut.
      Demikian acara ngasti sebagai klimak finaltinya upacara ngaben.





TUNTUNAN PITRA YAJNA ( NGABEN )


TATANAN PELAKSANAAN
PENGABENAN


Secara global tatanan pelaksanaan Atiwa Tiwa atau cara pengabenan disebutkan sebagai berikut :
1.      APRATIWA (WAHYA NGESENG BYANTARA NGIRIM)
Maksudnya : pembakaran dilakukan sesuai dewasa harinya nuju Beteng, ngirim buang abu dilaksanakan hari esoknya disebut kajeng atau byantara.
2.      TANDANG MANTRI (BYANTARA NGESENG BYANTARA NGIRIM)
Maksudnya : pelaksanaan pembakaran dan buang abu dalam satu hari.
3.      TUMANDANG MANTRI (BYANTARA NGESENG BYANTARA NGIRIM LANJUT NYEKEH NGERORAS)
Maksudnya : pembakaran dan buang abu dilaksanakan  dalam satu hari, dilanjutkan upacara nyekeh pada hari itu juga, puput sadina disebut ngelanus.
Dari ketiga cara pengabenan tersebut, dalam kaitannya atas mayat yang akan diaben, senantiasa diawali dengan prosesi MRETEKA SAWA.
Kegiatan itu meliputi : memandikan, menyucikan sawa ditiwakin tirtha pebersihan, pemanahan dan sarana lainnya, sampai sawa dibungkus digulung dengan pengulung yang disediakan. Setelah mayat terbungkus atau dilelet sebagaimana mestinya, lalu dinaikkan ke atas bale-bale yang terbuat dari bambu kuning dan diletakkan pada sebuah bangunan BALE GDE atau SAKANEM, dapat pula pada BALE TIANG SANGA yang khusus dibangun untuk kegiatan upacara agama. Setelah sawa diletakkan pada bale Tumpang Salu kemudian dipasangi kerangka kurungan dari bambu yang disebut pelengkungan, dibungkus dengan tikar halus majerumat, seolah-olah membentuk sebuah kuburan. Dipasangi kain rurub, kajang, ukur, sekar sinom dan kwangen. Di atasnya diletakkan angenan, rantasan dan beberapa sarana lainnya seperti : gegutuk, peneteh, penaring, adegan, tatukon, pisang jati, bunteh, tulup, ganjaran, cegceg, tah yang diletakkan di sekitar letak sawa. Tidak luput sebuah dammar kurung dipancang di depan samping pintu pekarangan rumah, dinyalakan apabila diadakan upacara tarpana (pemberian suguhan pada Pitra yang dipandu oleh sulinggih).
            Kegiatan mreteka sawa dimaksud, kadangkala dilaksanakan jauh sebelum hari dewasa pengabenan, mengingat prosesi ngaben yang diinginkan agar tampak megah meriah, dengan segala fasilitas sarana lainnya seperti : wadah/bade, bale salunglung, kreteg, patulangan persiapannya memerlukan banyak waktu. Dengan demikian sering tampak di suatu lingkungan pemukiman Hindu, peleletan nyekeh sawa atau ngeringkes sampai berbulan-bulan bahkan ada tahunan.
            Setelah dewasa atau hari yang dipilih untuk pelaksanaan ngaben dipastikan atau disebut NEGEM DEWASA, dan segala sarana yang diperlukan sudah siap, maka rangkaian karya diawali MIN LIMA HARI BUANG ABU, dengan susunan acara sebagai berikut :
HARI PERTAMA   : disebut penangian atau penundunan dengan kegiatan pitra puja tarpana.
HARI KEDUA      : disebut bengang  atau masa   hari tenang untuk introspeksi.
HARI KETIGA       : disebut pebaktian dengan kegiatan pitra puja tarpana bakti sentana.
HARI KEEMPAT   : disebut mageseng dengan kegiatan pitra puja tarpana mapepegat.
HARI KELIMA      : disebut Ngasti dengan kegiatan pitra puja tarpana pakiriman.
Susunan karya pengabenan seperti tersebut dinamakan APRATIWA.
Selanjutnya TANDANG MANTRI dan TUMANDANG MANTRI, kiranya akan dapat terpikirkan sebagaimana perbedaan-perbedaannya yang telah disebutkan di depan.
Disamping perbedaan tersebut, dan mengingat upacaranya diselesaikan dalam satu hari, maka prosesi mreteka sawa atau ngeringkesnya dapat disederhanakan yaitu ngeringkes di PATULANGAN juga tidak membutuhkan : angenan, ukur, tatukon, pisang jati, pengawak, dammar kurung, pelengkungan, wadah dan balai buncal. Peleletan dilaksanakan MIN SATU HARI PENGABENAN. Adanya penyederhanaan tersebut akan merupakan jawaban awal bagi yang kurang beruntung dan tidak perlu berkecil hati. Dalam BHAGAWADGITA disebutkan :
TAD AHAM BHAKTYOPAHRTAM, ASNAMI PRAYATATMANAH. (BG IX.26)
Yang maksudnya : bukan tingkatan besar-kecilnya persembahan menjadi ukuran, melainkan kesungguhan keikhlasan dan kesucian hati.
            Selain tatanan Pitra Yajna ngaben yang disebutkan di atas, masih ada cara atau indik ngaben yang mengacu pada lontar PURWA YAMA TATTWA.
ITI SASTRA PURWA YAMA TATTWA :  
Sedeng Bhatari Durgha hanaring gaganantara, tumon hatma sasaring kawahgnisara, wastu ksana hapalih warna bhatari harupa Sang Hyang Yamadipati, sira hang gamel hala hayuning hatma. 
Waneh pwa sira halungguh ring Yamaniloka, tumedun maring Wantipura nitibhumi, dadya ta somya nira hawarna Bhatari Huma, sira Hyangning Kahyangan Dalem huluning setra.
Kunang kalanira ring madhyaning setra agung rumaga sira Bhatari Durgha Dewi, hnengakna.
Mangke wasitaakna PANDYA SANG HATAPA HENDER, jumujuging palinggihira bhatari sedheng awarna Durgha Dewi, dadya kagiat bhatari, mangrak mangrik aptya manadaha sang pandya.
Saksana dateng Bhatara Brahma sumurup suksmeng brahmaangga sang pandya, apan sang Brahmana hinangken putra de Bhatara Brahma, hirika linesu gelengire Bhatari, ksana Sang Hatapa Hender haminta nugraha Bhatari, bwat kasidyaning adnyana kreta siksa, humilangakna letuh hatmaning wang mati, siddha mulihing swarga  bhawana.
Mangkana bhatari hapalih warna harupa SANGHYANG YAMADIPATI, maha krura rupa Rudra Murti tulya, tandwa hasung warah-warah ring Sang Pandya sapari kramaning pangaci sawaning wang mati, hala ayu, ikang yogya lawan tan yogya.
Yata nimitaning hana SASTRA PURWA YAMA TATTWA, kabyakta de sang Sadaka ri kuna-kuna ring bhumi Pasuruan Blambangan Jawadwipa katekeng BALI RAJYA.


NIHAN PAWARAH SANGHYANG YAMA :
Maka siddhaning tingkah angupakara sawaning wang mati, hagung-halit/nistha madyotama maka pamatuting ulah, kewala mati bener, haja pinendem, gesenge juga presiddha mulih maring Bhatara Brahma, apituwi TAN PABEYA swastaakna ring Sanghyang Agni putusa dening tirtha pangentas, dulurana daksina sanunggal, canang pitung tanding kunang beras catur warna macemper.
Riwus geseng bhasmi sawa ika, reka harengnya laju Sang pandya pamutus karya hanggelar sakramaning puja tarpana pakiriman, praline mituduhang nuli hanyut mareng we pangrarungan.
Wekasan sekama-kama wenang ngeroras nyekeh, sidha pada hanemu hayu, bhatara sama sukha mahiyang ring sapanagara Sri haji.

Dari pawarah tersebut di atas, khusus dalam pengabenan TAN PABEYA, tampak memang sangat sederhana pelaksanaannya. Pada hari dewasa pengabenan sawa dimandikan dibersihkan dengan sarana atau eteh-eteh pasiraman, metoya pebersihan wang mati, mapangulung tikeh lante, rurub sekar sinom masih di pepaga ayabin punjung. Kemudian sawa dibawa ke setra, di tempat pembakaran ditiwakin tirta pengentas, beserta sarana daksina satu, canang tujuh tanding, beras catur warna sebagaimana disebutkan di atas, lalu dibakar. Menjelang berakhir pembakaran haturi saji geblagan, diterapkan sarana penyeheb berupa : menyan astanggi, air kelapa gading, gadang, kelapa dhanta dan toya penyeheb. Setelah abunya dipunggut, disirami air kumkuman lalu direka dengan kwangen pangrekaan, lanjut Sang Sulinggih yang meminpin upacara menggelar puja tarpana pakiriman, sebagaimana biasanya NGUTPTI, STITI, MRELINA mituduhang dan berakhir dengan buang abu.
            Untuk patokan dalam pengabenan TAN PABEYA, penataan bantennya sebagai berikut :
  1. DI SANGGAR SURYA DAN PRAJAPATI, masing-masing suci satu soroh.
  2. DI SOR SURYA, gelar sanga dan segehan.
  3. DI SANDING PITRA, peras idehan, sodayan, katipat pesor, perangkatan, ajengan dahar sai, pendetan, bayuan dan blonyoh.
  4. BANTEN TEBEN, jangkep peras, angkeb, bubuh pirata, banten gowak, geledegan, panjang ilang matah-rateng, panjang penyenuk, peras cucu.
  5. PANGRESIKAN, kerik kuramas, lis, buhu, toya siram, tehenan, rantasan, palukatan, padudusan, sibuh pepek, sekarura.
  6. HAREPAN PAMUTUS KARYA, suci, daksina, canang, punya.
  7. PENGAYUT, banten pejatian.
Lain halnya dengan pengabenan yang disebut  APRATIWA, dimana prosesinya berhari-hari meliputi utpti, stiti dan prelina yang berulang kali, maka akan membutuhkan upakara banten berulang kali juga.
Selanjutnya, dalam menguraikan susunan jalannya upacara ngaben, akan banyak mempergunakan kata-kata atau bahasa bali, disamping sebagai proses pembelajaran pengenalan istilah-istilah dalam kegiatan Pitra Yajna, juga akan menambah gaung kesakralan.     

Sabtu, 07 Januari 2012

TUNTUNAN PITRA YAJNA ( NGABEN )

Bagi yang beruntung mendapat rejeki atau ada menerima warisan Pitrarjita, hendaknya disyukuri dan dipergunakan, namun perlu diingat dan dipikirkan apa makna pribahasa yang sangat sederhana ini, dengan harapan semoga menjadi sebuah bhisama :



GELAH BAPANE APANGE TEKED
KAYANG KE CUCU



Penggunaan warisan atau Pitrarjita oleh pewaris dalam pelaksanaan Pitra Sraddha ngaben dengan cara menjual seperlunya itu dibenarkan.Hendaknya jangan Pitra Sraddha dijadikan alibi atas penjualan asset Pitrarjita, sebab tidak jarang dalam melaksanakan Pitra Yajna dimanfaatkan sebagai ajang untuk berbuat korupsi terselubung.
Contohnya : biaya ngaben seratus juta, jual warisan seharga empat ratus juta, sisanya dipakai judi atau memenuhi kesenangan lain yang sifatnya merugikan.
Disamping hal-hal tersebut, dimana semenjak pemerintahan Raja DALEM WATURENGGONG berkuasa di Bali, diadakan ketentuan-ketentuan dalam pemakaian wadah atau bade bagi seseorang yang akan melaksanakan pengabenan antara lain :
  1. Bagi Kulina Wangsa atau Bangsawan, lebih-lebih berkedudukan sebagai Raja Cakra Werti, berhak mempergunakan tatanan wadah/bade MATRI PREDANA, dalam arti metumpang sebelas, medasar bedawang nala, megamet menaga banda.
  2. Bagi Raja / Mahapatih yang di bawah kekuasaannya, hanya boleh memakai DWI PREDANA  atau salah satu dari identitas tersebut di atas ditiadakan.
  3. Para patih famili raja, hanya boleh mempergunakan satu identitas atau EKA PRADANA.
  4. Para Pendeta memakai PADMASANA dan LEMBU petulangan.
  5. Para Ksatrya lainnya memakai wadah metumpang sembilan dan para PASEK ksatrya Bali memakai tumpang tujuh.
Aturan-aturan yang ditentukan tersebut nampaknya sudah membudaya di masyarakat, bahkan ada yang menabukan untuk merubah. Bagi yang berpendapat atau menginginkan suatu perubahan ataupun yang menabukan untuk merubah, kiranya tidak perlu risih. Kedua-duanya benar, mengingat konsep tatanan Hindu menerapkan proses UTPTI, STITI, PRELINA. Proses Prelina atau melakukan perubahan di sektor material upakara sarana upacara dalam suatau proses yajna, tidak akan mengakibatkan yajna itu fatal atau hangus geseng.